Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Media Pengungkapan: Konvensional (Bahasa) dan Konkret (Rupa)

>> 25/03/14

Faliq Ayken*


Ada empat makalah kajian puisi yang kaitannya sangat erat satu dengan yang lain. Pertama, makalah yang disampaikan oleh Oky Primadeka pada 26 Januari 2014 dengan judul, “Pengertian, Hakikat, dan Perkembangan Puisi di Indonesia”. Kedua, makalah yang disampaikan oleh Yuni Budiawati pada 9 Februari 2014 dengan judul, “Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Periode: Puisi Lama, Puisi Modern, dan Puisi Mutakhir”. Ketiga, makalah yang disampaikan oleh Herry Oktav pada 9 Maret 2014 dengan judul, “Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas, dan Puisi Inkonvensional”. Kaitannya adalah pada isi pembahasan masing-masing. Meskipun berbeda, tapi ada titik persamaan yakni perkembangan puisi di Indonesia.

Pada pembahasan kajian puisi kali ini, ada kaitan yang erat dari pembahasan sebelumnya yaitu tentang struktur fisik dan struktur nonfisik (batin) dalam puisi. Kaitannya masuk ke pembahasan media pengungkapan konvensi bahasa puisi. Puisi konkret, pada pembahasan sebelumnya ada dalam struktur puisi inkonvensional, masuk ke pembahasan setelahnya, yakni konkret (rupa) puisi.

MEDIA PENGUNGKAPAN

Jika melihat kamus besar bahasa Indonesia terbaru yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, maka akan ditemukan arti yang paling selaras dengan konteks ini, yakni alat (Depdiknas, 2008: 892). Sedangkan kata pengungkapan dalam kamus yang sama, diartikan sebagai proses, cara, dan perbuatan mengungkapkan (2008: 1529). Artinya, jika digabungkan, media pengungkapan adalah alat untuk mengungkapkan. Media pengungkapan dalam konvensi bahasa dan konkret (rupa) puisi, berarti alat untuk mengungkapkan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam bahasa puisi dan puisi konkret.

Media diartikan sebagai alat, berarti benda yang dipakai untuk mengerjakan sesuatu. Pertanyaannya, apakah benda yang dipakai untuk mengungkapkan konvensi bahasa puisi dan rupa (konkret) puisi? Apakah konvensi bahasa puisi itu? Dan bagaimana bentuk puisi konkret yang dikatakan penulis sebagai rupa puisi? Ketiga pertanyaan itu adalah rumusan masalah pada pembahasan ini.

KONVENSI BAHASA PUISI

Arti kata konvensional yang digunakan pada judul di atas adalah sebagai konvensi (kesepakatan) umum. Sedangkan konotasi leksikal (makna menurut kamus) kata konvensi adalah permufakatan atau kesepakatan (Depdiknas, 2008: 730). Yang pertama menjadi kata sifat dan yang kedua menjadi kata benda. Bahasa diartikan sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer (manasuka), yang digunakan oleh suatu anggota masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Depdiknas, 2008: 116). Arti puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Depdiknas, 2008: 1112).

Hasanuddin W.S. (2012: 65) menyatakan bahwa bahasa puisi (sajak) adalah bahasa yang dihasilkan dari kristalisasi pengalaman, perasaan, dan pikiran yang menyatu erat dengan obsesi. Kemudian dikonkretkan oleh penyair dengan menggunakan bahasanya. Bahasa puisi tidak sama, bahasa puisi mempunyai kekhasan tersendiri, dan pengucapan di dalam puisi tergantung pada penyair yang membacakannya. Maka dari itu, antara satu puisi dengan puisi yang lain ditemukan pola pengucapan yang berbeda. Pola perbedaan pengucapan inilah yang dinamakan dengan bahasa khas puisi.

Hal-hal yang menyangkut bahasa puisi yang telah –dengan sendirinya– disepakati oleh para penyair, meskipun tak semuanya, sebagai  berikut (WS, 2012: 67).
  1. Kosakata. Menurut Muljana (seperti dikutip Pradopo, 2012: 51), baik tidaknya bahasa tergantung pada kecakapan sastrawan (penyair) dalam mempergunakan kata-kata. Dan segala kemungkin di luar kata tak dapat dipergunakan, misalnya mimik, gerak, dan sebagainya. Kehalusan perasaan penyair dalam mempergunakan kata-kata sangat diperlukan. W.S. Rendra dalam salah satu ceramahnya mengatakan bahwa ia menganjurkan para penyair untuk selalu melihat arti kata dalam kamus, seperti yang ia lakukan dengan tekun untuk mendapatkan arti yang setepat-tepatnya. Hal itu tidak berarti bahwa bahasa serta kata-katanya tidak sama dengan bahasa masyarakat pada umumnya. Seorang penyair dapat juga mempergunakan kata-kata yang sudah mati, namun harus dapat menghidupkannya kembali. Misalnya dalam sajak “Berdiri Aku” karya Amir Hamzah, mempergunakan kata-kata marak dan leka yang tidak pernah kedengaran lagi dalam kata-kata sehari-hari:
    Benang raja mencelup ujung
    Naik marak menyerak corak
    Elang leka sayap tergulung
    Dimabuk warna berarak-arak
    Penggunaan kata-kata bahasa sehari-hari dapat memberi efek realistis, sedangkan penggunaan bahasa yang indah dapat memberi efek romantis (Pradopo, 2012: 51-53).
  2. Pemilihan Kata. Pradopo (2012: 54) menyebutkan bahwa pemilihan kata dalam puisi (sajak) disebut diksi. Ia menambahkan, diksi itu untuk mendapatkan kepuitisan, untuk mendapatkan nilai estetik. Menurut Altenbernd (seperti dikutip Pradopo), untuk mendapatkan kepadatan dan intensitas supaya selaras dengan sarana komunikasi puitis yang lain, maka penyair memilih kata-kata dengan secermat-cermatnya. Penciptaan puisi adalah hal yang paling menitikberatkan pada diksi. Begitu sakralnya puisi, terkadang penyair akan terus menyempurnakan sebuah puisi dalam beberapa waktu lamanya. Seperti pada puisi “Aku” karya Chairil Anwar, pada awalnya ia menggunakan diksi /dari kumpulan yang terbuang/ kemudian dirubah menjadi /dari kumpulannya terbuang/ (Damayanti, 2013: 23).
  3. Pengimajian. Adalah kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Pengimajian dibagi menjadi tiga, yaitu imaji suara (auditif), imaji penglihatan (visual), dan imaji rasa (taktil). Pengimajian menjadikan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan merasakan seperti apa yang dialami penyair (Damayanti, 2013: 19). Membaca puisi-puisi imajis dibutuhkan pengalaman yang cukup luas atau paling tidak bisa mengimajinasikan kata-kata yang tertulis dalam puisi. Mari lihat puisi “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardoyo yang bercerita tentang Sita yang ada pada cerita Ramayana. Berikut adalah contoh puisinya:
    ASMARADANA

    Sita di tengah nyala api
    tidak menyangkal
    betapa indahnya cinta berahi

    Raksasa yang melahirkannya ke hutan
    begitu lebat bulu jantannya
    dan sita menyerahkan diri

    Dewa tak melindunginya dari neraka
    tapi Sita tak merasa berlaku dosa
    sekedar menurutkan naluri

    Pada geliat sekarat terlompat doa
    jangan juga hangus dalam api
    sisa mimpi dari senggama
    (Subagio Sastrowardoyo, Keroncong Motinggo: 89)
  4. Rima dan Irama. Rima atau persamaan bunyi adalah salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima. Baik rima maupun irama, keduanya menciptakan efek musikalisasi pada puisi, yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan. Ada beberapa jenis rima, yaitu: rima sempurna (persamaan bunyi pada suku kata terakhir); rima tak sempurna (persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir); rima mutlak (persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih secara mutlak atau suku kata sebunyi); rima terbuka (persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata akhir terbuka atau dengan vokal sama); rima tertutup (persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata konsonan); rima aliterasi (persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris yang sama atau baris yang berlainan); rima asonansi (persamaan bunyi yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata); dan rima disonansi (persamaan bunyi yang terdapat pada huruf-huruf mati atau huruf konsonan (Damayanti, 2013, 36-37). Puisi “Doa” karya Chairil Anwar berikut ini adalah salah satu contoh bentuk rima akhir (Waluyo, 2002: 7).
    Tuhanku
    Dalam termangu
    Aku masih menyebut namaMu

    Biar susah sungguh
    Mengingat Kau penuh seluruh
    …………….....
    Tuhanku
    aku hilang bentuk
    remuk
    ………..
    Sedangkan irama dalam kaitannya dengan bahasa puisi adalah pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur. Irama adalah ritme, artinya gerakan yang teratur, terus-menerus tidak putus-putus (Pradopo, 2012: 40). Atau dengan bahasa yang lain, irama adalah intonasi. Cara yang tepat untuk melatih irama dalam pembacaan puisi, dengan mendaklamasikannya. Irama puisi bisa dinikmati, jika pembaca puisi bisa menikmati kata-kata yang ada dalam puisi yang dibacakannya.
  5. Gaya Bahasa. Secara singkat dapat dikatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur: kejujuran, sopan-santun, dan menarik (Keraf, 1985: 113).  Menurut Tarigan (2009: 5), ragam gaya bahasa terbagi menjadi empat kelompok, yaitu: perbandingan (perumpamaan, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme/tautologi, perifrasis, prolepsis atau antisipasi, dan koreksio atau epanortosis); kedua, pertentangan (hiperbola, litotes, ironi, oksimoron, paronomasia, paralipsis, zeugma dan silepsis, satire, inuendo, antifrasis, paradoks, klimaks, antiklimaks, apostrof, anastrof atau inversi, apofasis atau preterisio, histeron proteron, hipalase, sinisme, sarkasme); ketiga, pertautan (metonimia, sinekdoke, alusi, eufemisme, eponim, epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme, elipsis, gradasi, asindeton, polisindeton); dan keempat, perulangan (aliterasi, asonansi, antanaklasis, kiasmus, epizeukis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodilopsis, epanalepsis, anadiplosis). Keempat ragam gaya bahasa tersebut hanya saya tulis, tidak berdasarkan artinya, untuk lebih mudah memahami bagian mana yang termasuk dalam konvensi bahasa puisi. Sedangkan gaya bahasa (majas) yang sering digunakan yang digunakan oleh banyak penyair, menurut Hasanuddin W.S. (2012: 107) adalah perbandingan, personifikasi, metafora, dan hiperbola. Selain itu, para penyair sering menggunakan cerita-cerita bermajas, antara lain: alegori, parabel, dan fabel. Berikut ini adalah salah satu contoh gaya bahasa pertentangan, satire. Uraian yang (harus) ditafsirkan lain dari makna asalnya disebut satire. Contoh puisi “Peluru Pertama” karya Subagio Sastrowardoyo (Tarigan, 2009: 72).
    PELURU PERTAMA

    Waktu peluru pertama meledak
    Tidak ada lagi hari minggu atau malam istirahat.
    Tangan penuh kerja dan mata berjaga
    mengawasi pantai dan langit yang hamil oleh khianat.
    Mulut dan bumi berdiam diri. Satunya suara hanya teriak nyawa.
    yang lepas dari tubuh luka,
    atau jerit hati mendendam mau membalas kematian.
    Harap terjaga. Kita memasuki daerah perang
    Kalau peluru pertama sudah meledak
    Kita harus paling dulu menyerang
    dan mati atau menang.
    Mintalah pamit kepada anak dan keluarga dan bilang: Tidak ada lagi
    waktu untuk cinta dan bersenang. Kita simpan kesenian dan budaya di
    hari tua. Kita mengangkat senjata selagi muda
    dan mati atau menang.
    (Jassin, 1986: 375)
  6. Tata Bahasa. Adalah kumpulan kaidah tentang struktur gramatikal bahasa (Depdiknas, 2008: 1410). Ada tipe penyair yang tidak patuh pada gramatikal bahasa puisi, bukan karena ia tak mampu, melainkan karena kebutuhan puisi yang ia tulis agar puisi itu menjadi estetis. Menurut Hasanuddin W.S. (2012: 115) penyalahgunaan ketatabahasaan justru disengaja oleh para penyair untuk menimbulkan kesan kepuitisan. Kebebasan penyair untuk memperlakukan bahasa sebagai bahan puisi dalam istilah kesusastraan dikenal sebagai licentia poetica. Yang dimaksud dengan licentia poetica ialah kebebasan seorang sastrawan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional, untuk menghasilkan efek yang dikehendaki (Sudjiman, 1993:18). Ada hubungan antara bahasa puisi dan licentia poetica. Licentia poetica dapat diartikan sebagai adanya dispensasi bagi sastrawan (penyair) untuk memilih cara penyampaian pengalaman batinnya. Penyair dapat memilih cara penyampaian dengan tiga cara, yaitu: pertama, mengikuti kaidah bahasa secara tradisional konvensional; kedua, penyair memanfaatkan potensi bahasa secara kreatif namun masih dalam batas konvensi bahasa; dan ketiga, penyair menyimpang dari konvensi bahasa yang berlaku. Apapun cara penyampaian yang dilakukan pada dasarnya bertujuan memunculkan efek tertentu yang tidak diperoleh dengan cara lainnya. Dapat saja penyair menggunakan salah satu cara dari ketiga cara tersebut atau dua dari ketiga cara itu atau bahkan ketiga-tiganya digunakan dalam sebuah puisi.  (Nurhayati, http://nurhayatibizzy.blogspot.com/2012/01/bahasa-puisi-dan-kaitannya-dengan.html, akses 15 Maret 2014). Bagaimana dengan puisi konkret atau rupa puisi? Uraian tentang licentia poetica poin ketiga adalah isi pembahasannya.
PUISI KONKRET ATAU RUPA PUISI

Jika melihat kajian puisi sebelumnya, puisi konkret masuk ke dalam pembahasan puisi inkonvensional. Puisi inkonvensional tentu tidak sama dengan puisi konvensional. Kalau pola puisi konvensional dalam bahasa puisi mengikuti aturan, maka puisi inkonvensional kebalikannya, tidak mengikuti aturan. Konvensi bahasa puisi yang telah diuraikan di atas adalah bentuk aturan dari puisi konvensional.

Puisi konkret, menurut Elin (seperti dikutip Oktav, Makalah, 2014), adalah puisi yang menitikberatkan pada bentuk grafis yang disusun mirip dengan gambar. Mantra, Mbeling, dan Puisi Konkret adalah tiga hal yang masuk dalam kategori puisi inkonvensional. Penyair dalam kategori ini –yang paling populer– adalah Sutardji Calzoum Bachri. Kata-kata terakhir dalam kredo puisinya, ia menyatakan: “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera” (Purba, 2010: 17). Jika melihat definisi yang dikemukakan oleh Elin tersebut di atas, puisi konkret berarti penyempurna dari puisi mantra dan puisi mbeling. Puisi mantra dicetus dan digerakkan oleh Sutardji Calzoum Bachri, sedangkan puisi mbeling oleh Remy Sylado.

Berikut ini adalah lampiran puisi konkret karya Sutardji Calzoum Bachri dan Remy Sylado, puisi-puisi yang tak patuh pada aturan-aturan konvensi bahasa, yaitu:
RI SATU

kepala                                       kepala
           kepala   kepala   kepala
kepala        kepala   kepala        kepala
         kepala     kepala      kepala
                 kepala      kepala
kepala  kepala   kepala  kepala  kepala
          kepalakepalakepalakepala
                    kepalakepala
                     BANYAK

                         tapi
                        cuma
                         satu
                       kepala
                   paling kepala
                    1978
                    (Sylado, 2004: 120)

TRAGEDI WINKA & SIHKHA

kawin
    kawin
        kawin
            kawin
                kawin
                          ka
                         win
                       ka
                  win
                ka
           win
         ka
   win
 ka
winka
     winka
         winka
             sihka
                 sihka
                     sihka
                            sih
                           ka
                       sih
                    ka
                sih
             ka
          sih
       ka
   sih
ka
   sih
       sih
           sih
                sih
                     sih
                          ka
                              Ku
                              (Sutardji Calzoum Bachri, O, Amuk, Kapak: 38)

KESIMPULAN

Alat untuk mengungkapkan bahasa puisi tentu harus melihat konvensi bahasa puisi. Konvensi bahasa dalam perpuisian di Indonesia, tentu menggunakan bahasa Indonesia. Karena itu adalah kesepakatan yang sudah terbangun dari bahasa itu lahir. Tidak mungkin kita berbicara puisi Indonesia lantas dengan menggunakan bukan bahasa Indonesia. Benar apa yang dikatakan Edmund Husserl bahwa bahasa adalah kesepakatan-kesepakatan. Menunjuk meja belajar, sebagai contoh, tentu akan menunjuk pada sesuatu berkaki empat, berbahan kayu, dan bisa untuk membaca dan menulis.

Kesepakatan-kesepakatan bahasa bisa dilanggar karena ada kesepakatan-kesepakatan baru yang timbul. Kesepakatan-kesepakatan bahasa itu akan dilanggar lagi dan menciptakan kesepakatan-kesepakatan baru lagi. Dan seterusnya. Tapi yang jelas, untuk menciptakan kesepakatan-kesepakatan bahasa, membutuhkan penafsir atau pembaca untuk menyepakati apa yang telah diciptakannya. Dan itu akan terjadi setelah memakan waktu yang lama.


DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, D. Buku Pintar Sastra Indonesia Puisi, Sajak, Syair, Pantun dan Majas. Yogyakarta: Araska, 2013.

Nasional, Departemen Pendidikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Nurhayati. "Bahasa Puisi dan Kaitannya dengan Licentia Poetica." http://nurhayatibizzy.blogspot.com/2012/01/bahasa-puisi-dan-kaitannya-dengan.html (akses 15 Maret 2014).

Oktav, Herry. "Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas dan Puisi Inkonvensional." Makalah disampaikan  dalam Kajian Puisi Komunitas Literasi Alfabét, Ciputat, 2014.

Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Sylado, Remy. Puisi Mbeling. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2004.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa, 2009.

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.


* Faliq Ayken, nama pena dari Moh. Faliqul Ishbah, alumnus Al-Inaaroh Buntet Pesantren Cirebon dan anggota istimewa FLAT, Foreign Languages Association, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Read more...

Gila Hormat

>> 24/03/14

Faliq Ayken


           gila kuasa
                      gila tepuk tangan
                                 gila eksistensi
                                            tak gila esensi
                                                       esensi gila
                                           lawan malas
                      tolak ingin dihargai
           ini esensi eksistensi
ingin dihargai
           berapa hargamu?
                      murah atau mahal?
                                 itu masuk akal atau banal?
                                            gila saja terus
                                                      bawa cermin
                                                                  hormat di depannya
                                                                             pasti tambah gila
                                                      sudah hormat pada dirimu sendiri?
                                                                 bagaimana pendapatmu?
                                                                 apa ada caci maki?
                                           GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                                GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                     GILA HORMAT! BANGSAAAT!
                                      caci maki saja terus
                                                bercermin terus
                                                             jangan berhenti
                                                                        awas kacanya mati


                                                                                                Pesanggrahan Ciputat,
                                                                                                Minggu, 16 Maret 2014

Read more...

Bebas

>> 22/03/14

Joni Rolis


Tidak ada lagi dentum peluru
Memberondong, membabi buta
Tidak pula denting suara amunisi
Pengantar jiwa menemui Pemiliknya
Tidak pula gelegar tembakan meriam
Perenggut jiwa yang tidak pernah tenang hidupnya

Tenang, mereka telah pergi
Kita hidup di zaman yang berbeda
Tenang, kita ini manusia bebas
Hidup di negeri kaya

Berikan saja batu
Kita beli kapalnya
Berikan saja minyak
Dan kita beli pesawatnya
Berikan saja mereka sebidang tanah
Dunia tahu kita kaya


Tajurhalang,
Minggu, 16 Maret 2014

Read more...

Ah... Jaman Sekarang

>> 21/03/14

Yuni Budiawati


Di sudut kota anak muda bergerombol dan kongko-kongko
Dandan menor ala tante hebring padahal bocah
Tato sana tindik sini
Keren katanya, padahal sekujur tubuh sakit minta ampun
Jagoan katanya, padahal sekali jotos langsung keleper
Ah... jaman sekarang

Perempuan lenggak-lenggok tenteng tas mahal
Lelaki berlagak necis sepatunya kelas atas
Bangga punya barang dari yang dulu jajah
Produk sendiri dianggap rendahan
Norak! Kampungan!
Ah... jaman sekarang

Anak sekolahan pake baju trendi, hp canggih
Tas dan sepatu bermerek biarpun KW
Padahal Ibu Bapaknya ngutang sana-sini
Ngirit makan buat buku anak
Ah... jaman sekarang

Lihat! Sang pusaka dikibarkan
Indonesia Raya dikumandangkan
Tak ada kerja paksa bikin terowongan
Itu sudah lalu
Kita merdeka katanya
Tapi, masih saja pikiran tak maju, akhlak malah bobrok
Mau diperbudak hutang, diperalat teknologi
Mereka terbahak, harga diri bangsa hancur
Sadar! Kita masih dijajah kawan
Ah... jaman sekarang


Ciputat,
Minggu, 16 Maret 2014

Read more...

Invasi Berkedok Investasi

>> 20/03/14

Herry Oktav


Jagabaya lapar hingga tak sanggup bertitar
Terkapar tanpa respons sang kaisar yang dihantui keping dinar
Khawatir akan hilangnya kepercayaan rakyat
Resah akan putusnya hubungan dengan para ningrat
Takut akan ancaman kaum feodal luar

Negerinya beradab, beradat
Tanah airnya subur makmur
Hingga kuasa imperialis tak pandang kabur

Tuan raja hilang arah
Jagabaya tak mampu tetirah
Panglima takut salah langkah

Negeri kaya raya ini dirayah
sementara kaisar memangku manja
Rakyat kerja dipaksa
dan bendara asyik bermain janda

Kadipaten, wilayah yang dulu dipimpin adipati
kini jadi korban invasi yang penuh dengan investasi-investasi
Kisanak, orang yang dulu paling militan
kini jadi simbol kemelaratan dan kesengsaraan

Walau tolak pertanda sengsara, bukan berarti memana
Walau lawan berarti derita, bukan pertanda tak punya cara
LAWAN!

Ciputat, 13 Maret 2014


Jagabaya: kepala keamanan desa
Bertitar: bergerak atau berjalan kian kemari dengan cepat
Feodal: berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan
Imperialis: bangsa (negara) yang menjalankan politik menjajah bangsa (negara) lain; negara yang memperluas daerah jajahannya untuk kepentingan industri dan modal
Tetirah: pergi ke tempat lain dan tinggal untuk sementara waktu; pergi mengungsi
Dirayah: dijarah, dirampok
Bendara: sebutan kaum bangsawan Jawa
Kadipaten: daerah yang dikuasai oleh adipati, yang lebih rendah daripada kesultanan
Adipati: gelar raja muda atau wakil raja (sekarang bupati)

Read more...

Tubuh yang Kehilangan Tangis

>> 19/03/14

Oky Primadeka


Sejak pagi tomong-tomong berdentum keras
Ayam-ayam yang setiap fajar berkokok pun lebih memilih mati
daripada bosan menyaksikan sinema yang ending-nya selalu lara
Mereka mengajukan proposal kematian secepatnya
Sedang para malaikat sibuk mencatat berapa jasad mati
takut lupa, mereka rekam semua

Mungkin saja ia mati
setelah ribuan peluru menerabas benteng kulitnya
di peperangan akbar yang menewaskan hampir tubuh seantero negeri
yang kadung pikun alamat pulang ke mana

Kulihat jasadnya terbujur kaku
Kugoyang-goyangkan badannya sampai kepalanya menoleh
tapi tak lagi ada bau kehidupan
Tubuhnya kehilangan tangis
padahal tadi malam ia melahirkan air mata yang alirnya deras
untuk menyadarkan semua yang alpa

Gagak gagah membidik tajam dari kejauhan
ingin segera menunaikan rasa lapar yang ia sudah tahan beberapa bulan lamanya
di atas pohon yang bosan ditongkrongi burung pengkhianat
saat orang-orang masih cukup kuat menunda kekalahan
di pusat kota angan-angan


Ciputat,
Minggu, 16 Maret 2014

Read more...

Babu, Centeng, dan Meneer

>> 18/03/14

Khairini Lulut


Aku selalu melayanimu,
membersihkan meja makan, membereskan ruangan,
dan membawakan sop bening, yang tak sengaja kubawakan semangkuk kobokan
Aku hanyalah seorang gadis berumur tiga belas tahun
yang baru saja berduka atas sepeninggal ibuku,
dan kini berada di bawah rumah gedong sebagai babu baru

Aku selalu menemanimu,
menjadi pengawal sekaligus kacungmu
Menjadi tameng ketika kaudiserbu hingga badanku membiru
Melawan semua yang menghadang hingga satu banding sepuluh
Akulah centeng yang sudah setia menemani selama satu dekademu

Dialah meneer, penguasa baru desa ini
Tak ada satu pun yang berani padanya,
'kan dikokang senjatanya pada siapapun yang melawan
dia memang baik pada kami, pada kami yang tak berani melawan

Apalah daya kami, di negeri sendiri kami dijadikan budak
Ya, di tanah kelahiran kami
Siapa kau wahai kaum bengis, yang memperlakukan kami sebagai pengemis
Datang tanpa undangan dan berlaku sesuka hati
Kami marah, kami mengutuk dalam hati

Tapi inilah kelemahan kami, tak berani melawan tak berani bicara
Inilah persuaan yang tak pernah kami hendaki,
yang telah menjadi akhir kami


Ciputat,
Minggu, 16 Maret 2014

Read more...

Jenis Puisi Indonesia Dilihat dari Struktur: Puisi Terikat, Puisi Bebas, dan Puisi Inkonvensional

>> 17/03/14

Herry Octav*


PENGANTAR

Pada pertemuan sebelumnya kita telah membahas definisi puisi, hakikat puisi, perkembangan puisi Indonesia, dan jenis puisi Indonesia dilihat dari periodenya. Kali ini kita akan membahas jenis puisi Indonesia berdasarkan strukturnya. Kata struktur sendiri, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan versi 1.5 menyebutkan bahwa struktur adalah cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan, bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; atau dalam linguistik disebut pengaturan pola dalam bahasa secara sintagmatis (linier). Sedangkan puisi merupakan karya sastra yang berupa gubahan atau rangkaian dalam bahasa yang dibentuk secara selektif, tertata, dan cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013).

Definisi struktur di atas menggambarkan susunan atau bangunan yang disusun dengan pola tertentu. Sedangkan pengertian struktur dalam puisi tidak dapat diartikan sebagai rangka.


STRUKTUR PUISI

Pengertian struktur dalam puisi lebih luas daripada rangka dan juga terlalu luas apabila diartikan sebagai wujud penyampaian ide. Pada dasarnya, kekhususan hakikat puisi terlihat dari strukturnya yang memperhatikan konsentrasi dan intensifikasi. Dari konsentrasi ini seorang pencipta puisi berusaha menggabungkan isi pikiran, persoalan, kesan, dan semacamnya untuk dituangkan ke dalam puisi atau sajak. Konsentrasi dapat menghasilkan bentukan yang konkret dan abstrak. Sedangkan intensifikasi merupakan peralihan dan pencurahan emosional atau perasaan penyair menuju suasana yang puitis untuk dituangkan pada syair atau puisi. Intensifikasi hanya menghasilkan karya yang abstrak (Jalil, 1985: 13).

Selanjutnya, Jalil (1985: 26-27) menjelaskan struktur puisi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu abstrak dan konkret. Struktur puisi yang abstrak maksudnya adalah wujud puisi yang harus dilihat dari refleksi yang timbul pada diri si penikmat atau pembaca. Struktur abstrak ini seperti komunikasi, peranan dan fungsi puisi. Sedangkan struktur puisi yang konkret adalah wujud puisi yang dapat dilihat dari susunan yang membangunnya, seperti gaya bahasa dan musikalisasi puisi.

Adapun Hasanuddin WS yang mengutip Marjorie Boulton menjelaskan lebih detail tentang struktur puisi yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu struktur fisik dan struktur mental/batin (Hasanuddin, 2012: 28). Struktur fisik puisi digunakan oleh seorang pencipta atau penyair sebagai sarana untuk membangun puisi atau mengungkapkan hakikat puisi. Sarana tersebut meliputi hal-hal berikut:

a. Kosakata

Kosakata digunakan untuk mengungkapkan suatu maksud tertentu yang dianggap paling tepat untuk mewakili maksud yang ingin diucapkan atau disampaikan, karena banyak kata yang mengacu pada arti yang sama. Seorang pencipta atau penyair menggunakan kosakata puitis atau kosakata sehari-hari dalam membangun puisinya (Hasanuddin, 2012: 68). Bahkan, bisa saja pencipta atau penyair menggunakan kosakata daerah atau asing yang jarang digunakan di kehidupan sehari-hari. Sementara menurut Waluyo (2002: 9), kosakata digunakan untuk menggambarkan sesuatu secara lebih konkret agar penikmat tidak mengalami kesulitan ketika membaca atau menikmati puisi.


b. Pemilihan Kata atau Diksi

Dalam memilih kata ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan, yaitu makna kias, lambang, dan persamaan bunyi atau rima (Waluyo, 2002: 3-8). Disadari atau tidak, banyak kata yang memiliki arti yang sama tapi kesan yang ditimbulkan bisa berbeda. Misalnya pemakaian kata ganti hamba, saya, dan aku. Ketiga kata ganti tersebut merujuk kepada kata ganti orang pertama tunggal, tapi dalam konteksnya ketiga kata tersebut berbeda. Kata hamba memberikan kesan bahwa si penutur (pencipta atau penyair) memiliki strata sosial rendah atau rendah hati, kata saya menunjukkan bahwa si penutur memiliki strata sosial yang setara dengan mitra tutur (pembaca atau penikmat), dan kata aku memberikan kesan akrab antara si penutur dengan mitra tutur atau menunjukkan keindividualan yang tinggi dari si penutur. Jadi, seorang pencipta atau penyair memilih atau menyeleksi kata yang tepat sesuai dengan konteks isinya. Dan proses memilih kata setepat mungkin untuk mengungkapkan ide, pikiran, gagasan, dan perasaan disebut diksi (Hasanuddin, 2012: 79-87).


c. Pengimajian atau Citraan

Pengimajian adalah susunan kata-kata yang dapat memperjelas apa yang diungkapkan oleh pencipta atau penyair agar dapat dilihat (imaji visual), di dengar (imaji auditif), atau dirasa (imaji taktil) (Waluyo, 2002: 10). Mengutip dari Pradopo (1979: 42), pengimajian sebagai gambaran pikiran yang digunakan pencipta atau penyair untuk memperjelas atau memperkonkret ide-ide yang abstrak agar bisa ditangkap oleh indera si penikmat, sehingga menciptakan suasana kepuitisan. Menurutnya, pengimajian atau citraan  terdiri atas enam citraan, yaitu citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan penciuman (smell imagery), citraan rasaan (taste imagery), citraan rabaan (tactile imagery), dan citraan gerak (kinaesthetic imagery) (Hasanuddin, 2012: 88-104).


d. Gaya Bahasa

Jalil (1985: 31-33) membagi gaya bahasa menjadi empat yakni gaya bahasa perbandingan (meliputi personifikasi, asosiasi, simbolis, dan hiperbolis), gaya bahasa sindiran, gaya penyimpangan, dan gaya bahasa asli atau sebenarnya. Sementara menurut Hasanuddin (2012: 107), di dalam puisi sering terdapat bahasa bermajas (figurative language). Bahasa bermajas adalah bahasa yang mempergunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja disimpangkan dari susunan dan arti biasa untuk mendapatkan kesegaran dan kekuatan ekspresi. Majas yang sering dipergunakan penyair adalah perbandingan, personifikasi, metafora, dan hiperbol. Selain itu, ada juga bahasa retorika. Seni berbicara secara efektif disebut retorika. Bahasa retorika dalam puisi berupa muslihat pikiran atau keterampilan pemakaian bahasa secara efektif, tetapi kadang-kadang berkonotasi tidak jujur dan penuh dengan kata-kata yang muluk atau melangit. Penyair berusaha menciptakan unsur kepuitisan dengan memanfaatkan bahasa retorika seperti pemakaian kata yang lebih diperlukan (pleonasme), dibesar-besarkan (hiperbolis), pengulangan gagasan (tautolog), sejajar atau memiliki kemiripan (paralelisme) (Hasanuddin, 2012: 115).


e. Unsur Bunyi

Pegiat literasi biasa mendengar istilah rima dalam karya sastra puisi. Rima adalah persamaan bunyi dalam sajak atau puisi. Menurut Hasanuddin WS, unsur bunyi dalam puisi terbagi menjadi irama, kakafoni dan efoni, onomatope, aliterasi, asonansi, serta anafora dan epifora.
  1. Irama, merupakan bunyi yang teratur, terpola, menimbulkan variasi bunyi, sehingga dapat menimbulkan suasana. Irama terbagi menjadi dua, ritme dan metrum. Metrum adalah irama yang tetap, terpola menurut pola tertentu. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan-pertentangan atau pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tapi tidak merupakan jumlah suku kata yang tetap dan hanya menjadi gema dendang penyair.
  2. Kakafoni dan Efoni. Kakafoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang buram atau tidak enak didengar. Efoni adalah pemanfaatan bunyi sedemikian rupa sehingga bunyi yang dirangkai di dalam puisi dapat menimbulkan kesan yang cerah, lembut, mesra, bahagia atau enak didengar melalui suasana yang melingkupinya.
  3. Onomatope (tiruan bunyi) adalah pemakaian kata yang mirip dengan bunyi atau suara yang dihasilkan oleh barang, gerak, atau orang.
  4. Aliterasi adalah pengulangan bunyi yang sama.
  5. Asonansi adalah pemanfaatan bunyi secara berulang-ulang dalam satu baris sajak.
  6. Anafora dan Epifora. Anafora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada awal larik sajak. Epifora adalah pengulangan bunyi dalam bentuk kata yang sama pada akhir larik sajak (Hasanuddin, 2012: 45-62).
f. Tata Wajah

Tata wajah dalam sajak bisa disebut sebagai tipografi, yaitu proses peletakan atau pengelompokan huruf pada sajak, seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata, tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya, hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik. Banyak penyair yang mementingkan tata wajah, bahkan berusaha menciptakan puisi seperti gambar yang mewakili maksud tertentu (Waluyo, 2002: 13-14). Hal-hal tersebut sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.


g. Tata Bahasa

Bahasa puisi dan bahasa biasa sangat berbeda. Dalam bahasa biasa, tata bahasa diatur oleh sintaksis, yaitu pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, kata dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar dalam bahasa (Kridalaksana, 2009: 199). Dalam kepentingan tertentu penyair seringkali menggunakan bahasa dengan cara menyalahi ketentuan ketatabahasaan. Hal itu dilakukan bukan karena penyair lebih mengetahui aturan tata bahasa atau berusaha mengubah aturan tata bahasa, tapi untuk menimbulkan kesan dan efek puitis. Pelanggaran tata bahasa yang biasa dilakukan oleh penyair seperti menghilangkan imbuhan, pemendekan kata, serta penyimpakan struktur sintaksis (Hasanuddin, 2012: 115-116).

Selain struktur fisik, sarana untuk membangun dan mengungkapkan sajak atau puisi yang digunakan oleh penyair adalah struktur batin. Struktur batin dalam sajak atau puisi meliputi:
  1. Tema. Tema adalah gagasan pokok (subject-matter) yang dikemukakan oleh penyair melalui sajak atau puisinya. Pembaca atau penikmat puisi perlu mengetahui latar belakang penyair agar tidak salah menafsirkan tema puisi. Oleh karena itu, tema bersifat khusus, obyektif (pembaca sama persepsi), dan lugas. Tema-tema dalam puisi biasanya tentang ketuhanan atau religius, kemanusiaan, cinta, patriotisme, perjuangan, kegagalan hidup, alam, keadilan, kritik sosial, demokrasi, pendidikan, dan persahabatan atau kesetiakawanan (Waluyo, 2002: 17-31).
  2. Nada dan Suasana. Nada mengungkapkan sikap penyair terhadap pembaca sehingga tercipta suasana puisi. Penyair menyampaikan puisinya dengan nada sinis, protes, menggurui, memberontak, main-main, serius, patriotik, memelas (belas kasih), takut, mencekam, santai, masa bodoh, pesimis, humor, cemooh, kharismatik, filosofis, khusyuk, sombong, dan lain-lain (Waluyo, 2002: 37).
  3. Rasa atau Feeling. Puisi atau sajak mengungkapkan perasaan penyair. Nada dan perasaan penyair dapat ditangkap jika puisi dibaca keras atau lantang atau deklamasi (Waluyo, 2002: 39).
  4. Amanat. Amanat dalam puisi adalah pesan, nasihat, atau maksud yang disampaikan penyair sehingga menimbulkan kesan yang bisa ditangkap oleh pembaca atau penikmat setelah membaca puisi. Amanat puisi tergantung pada sikap dan pengalaman pembaca atau penikmat. Cara menyimpulkannya sangat berkaitan dengan cara pandang pembaca terhadap suatu hal. Amanat puisi juga tidak lepas dari tema dan isi puisi yang diungkapkan penyair (Waluyo, 2002: 40).
Berdasarkan struktur-struktur di atas, maka puisi terbagi menjadi tiga yaitu puisi terikat, puisi bebas, dan puisi inkonvensional.


PUISI TERIKAT

Puisi terikat merupakan jenis puisi yang mengacu pada aturan-aturan tertentu. Aturan-aturan tersebut seperti jumlah kata dalam satu baris, jumlah baris dalam satu bait, rima dan irama. Puisi terikat identik dengan puisi lama. Jenis-jenis puisi yang termasuk ke dalam puisi terikat adalah:
1. Gurindam. Puisi nasihat yang terdiri dari dua baris dalam setiap baitnya, hubungan larik 1 dan 2 membentuk kalimat majemuk yang biasanya bersifat sebab akibat. Contoh “Gurindam Dua Belas” karya Raja Ali Haji (Admin, http://rajaalihaji.com/id/works.php?a=SEovUnMvVw%3D%3D=, akses 9 Maret 2014):
GURINDAM DUA BELAS
Raja Ali Haji

Fasal 1
barang siapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

barang siapa mengenal yang empat
maka yaitulah orang yang makrifat

barang siapa mengenal Allah
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah

barang siapa mengenal diri
maka telah mengenal akan tuhan yang bahri

barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya

barang siapa mengenal akhirat
tahulah ia dunia mudharat

Fasal 2
barang siapa mengenal yang tersebut
tahulah ia makna takut

barang siapa meninggalkan sembahyang
seperti rumah tiada bertiang

barang siapa meninggalkan puasa
tidaklah mendapat dua termasa

barang siapa meninggalkan zakat
tiada hartanya beroleh berkat

barang siapa meninggalkan haji
tiadalah ia menyempurnakan janji
……. dst.
2. Syair. Contoh syair: (Jalil, 47).
ABDUL MULUK

Berhentilah kisah raja Hindustan,
Tersebutlah suatu perkataan,
Abdul Hamid paduka Sultan,
Duduklah baginda bersuka-sukaan.

Abdul Muluk putra baginda,
Besarlah sudah bangsawan muda,
Cantik menjelis usulnya syahda,
Tiga belas tahun umurnya ada.
……dst.
3. Pantun; Seloka, Talibun, Karmina. Pantun adalah puisi yang memiliki ciri bersajak a-b-a-b, tiap bait terdiri atas 4 baris, tiap baris terdiri atas 8-12 suku kata, 2 baris awal berisi sebagai sampiran dan 2 baris berikutnya sebagai isi. Contoh:
Kalau ada jarum patah
Jangan dimasukkan ke dalam peti
Kalau ada kataku yang salah
Jangan dimasukkan ke dalam hati

Seloka adalah pantun berkait. Contoh:
Lurus jalan ke Payakumbuh,
Kayu jati bertimbal jalan
Di mana hati tak ‘kan rusuh,
Ibu mati bapak berjalan

Karmina adalah pantun kilat atau pantun pendek. Contoh:
Dahulu parang sekarang besi (a)
Dahulu sayang sekarang benci (b)

Talibun adalah pantun genap yang tiap bait terdiri atas 6, 8, ataupun 10 baris. Contoh:
Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak pun beli sampiran
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanak pun cari isi
Induk semang cari dahulu

4. Distikon. Distikon sering disebut sajak dua seuntai, maksudnya terdiri atas dua baris dalam tiap baitnya. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
Berkali kita gagal
Ulangi lagi dan cari akal

Berkali-kali kita jatuh
Kembali berdiri jangan mengeluh
(Or. Mandank)
5. Tersina. Tersina sering disebut sajak tiga seuntai, maksudnya terdiri atas tiga baris dalam tiap baitnya. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
BAGAIMANA

Kadang-kadang aku benci
Bahkan sampai aku maki
........ diriku sendiri

Seperti aku
menjadi seteru
........ diriku sendiri

Waktu itu
Aku ........
seperti seorang lain dari diriku

Aku tak puas
sebab itu aku menjadi buas
menjadi buas dan panas
(Or. Mandank)
6. Quatrain. Quatrain adalah sajak empat seuntai yang tiap baitnya terdiri atas empat baris. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
MENDATANG-DATANG JUA

Mendatang-datang jua
Kenangan lama lampau
Menghilang muncul jua
Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua
Adi kanda lama lalu
Membuat hati jua
Layu lipu rindu-sendu
(A.M. Daeng Myala)
7. Quint. Quint adalah sajak lima seuntai yang tiap baitnya terdiri atas lima baris. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
HANYA KEPADA TUAN

Satu-satu perasaan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya katakan
kepada Tuan
Yang pernah merasakan

Satu-satu kegelisahan
Yang saya rasakan
Hanya dapat saya kisahkan
kepada Tuan
Yang pernah di resah gelisahkan

Satu-satu desiran
Yang saya dengarkan
Hanya dapat saya syairkan
kepada Tuan
Yang pernah mendengarkan desiran

Satu-satu kenyataan
Yang saya didustakan
Hanya dapat saya nyatakan
kepada Tuan
Yang enggan merasakan
(Or. Mandank)
8. Sekset. Sekset adalah sajak enam seuntai, tiap baitnya terdiri atas enam baris. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
MERINDUKAN BAGIA

Jika hari’lah tengah malam
Angin berhenti dari bernafas
Alam seperti dalam samadhi
Sukma jiwaku rasa tenggelam
Dalam laut tidak terwatas
Menangis hati diiris sedih
(Ipih)
9. Septima. Septima adalah sajak tujuh seuntai, tiap baitnya terdiri atas tujuh baris. Contohnya: (Hartono, http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html, akses 9 Maret 2014).
API UNGGUN

Diam tenang kami memandang
Api unggun menyala riang
Menjilat meloncat menari riang
Berkilat-kilat bersinar terang
Nyala api nampaknya curai
Hanya satu cita dicapai
Alam nan tinggi, sunyi, sepi
(Intojo)
10. Oktaf. Oktaf adalah sajak delapan seuntai, maksudnya tiap bait terdiri atas delapan baris. Contohnya: (Nesha, http://sman11mks.com/index.php?option=com_kunena&func=view&catid=26&id=245792&Itemid=100042, akses 9 Maret 2014).
AWAN

Awan datang melayang perlahan
Serasa bermimpi, serasa berangan
Bertambah lama, lupa di diri
Bertambah halus akhirnya seri
Dan bentuk menjadi hilang
Dalam langit biru gemilang
Demikian jiwaku lenyap sekarang
Dalam kehidupan teguh tenang
(Sanusi Pane)

PUISI BEBAS

Puisi bebas adalah puisi yang tidak terikat oleh aturan-aturan tertentu seperti rima, jumlah baris dalam bait, jumlah bait, atau jumlah suku kata (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013). Dalam puisi bebas, penyair mengungkapkan puisinya dengan tidak memperhatikan pola-pola dalam membangun puisi. Contohnya:
AKU

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar, Kerikil Tajam)
SEPISAUPI

sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka seriasau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisau sepisaupi
sepisaupanya sepikausepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(Sutardji Calzoum Bachri)
MALAM SEBELUM BADAI

Serangga tidak berbunyi pada musim air membeku
dahan-dahan telanjang hitam permukaan sungai pecah
tajam itik-itik sore hari berenang di antara gugus
gugus putih suaranya riang namun aneh berkabutlah
pohon-pohon taman pohon hutan apabila kapas
terperinci bagai debu putih melayang berlayangan dari atas
yang tak jelas batas angin memutar ladang-ladang
jagung pada ujung-ujung atap tetes air mendapat
nyawa Kristal bergelantungan malam meniupkan sunyi
berat menekan batang-batang cemara membagi warna
warna putih pada semua permukaan yang ada cahaya
bangun pudar dalam segi-segi empat di atas bukit
kecil menyusun pesan bisu dimanakah tupai-tupai
itu serangga-serangga itu burung-burung flamingo
bersayap merah muda angsa-angsa berenang rata dirawa-rawa
(Taufiq Ismail, Sajak Ladang Jagung)

PUISI INKONVENSIONAL

Puisi inkonvensional ialah puisi yang tidak mengikuti aturan. Yang termasuk ke dalam puisi inkonvensional yaitu mantra, mbeling, dan puisi konkret. (Mainingrum, http://mainingrum.blogspot.com/2011/07/jenis-jenis-puisi-contohnya-puisi.html, akses 9 Maret 2014).

1. Mantra. Mantra merupakan puisi tua. Mantra adalah susunan kata berunsur puisi seperti rima, irama yang dianggap mengandung kekuatan gaib, biasanya diucapkan oleh dukun atau pawang untuk menandingi kekuatan gaib yg lain. Beberapa macam mantra seperti: (Setiawan, KBBI Luring, 2010-2013).
  • Mantra kejahatan adalah mantra yang digunakan untuk perbuatan jahat.
  • Mantra keselamatan adalah mantra untuk menjaga diri dari bahaya.
  • Mantra penawar adalah mantra yang digunakan untuk pengobatan.
  • Mantra pitanggang adalah mantra yang menyebabkan perempuan tidak suka kepada pria atau tidak menikah seumur hidup karena tidak ada laki-laki yang mencintainya.
Contoh mantra penawar:
(Casico, http://chasimcasico.blogspot.com/2013/04/contoh-mantra-oleh-chasim-casico.html, akses 9 Maret 2014).
Nini ampeg-ampeg
Aki ampeg-ampeg
Ulah ampeg na hulu hate

Nini untang-untang
Aki untang-untang
Ulah muntang na birit bujal

Muntangna na birit wahangan
Waras nu ngajampe waras nu dijampe
Rep sirep
2. Mbeling. Menurut Jeihan Sukmantoro, puisi mbeling adalah puisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa (Berita Puisi, http://www.facebook.com/media/set/?set=a.425605814146798.97836.227048344002547&type=3#, akses 9 Maret 2014). Contohnya:
NELAYAN

Di tengah laut
Seorang nelayan berseru
Tuhan bikin laut
Beta bikin perahu
Tuhan bikin angin
Beta bikin layar

Tiba-tiba perahunya terguling

Akh,
Beta main-main
Tuhan sungguh-sungguh
(Jeihan Sukmantoro, 1974)
3. Puisi Konkret. Puisi konkret adalah puisi yang mementingkan bentuk grafis atau tata wajah yang disusun mirip dengan gambar. Di samping makna yang ingin disampaikan oleh penyair, ia juga memperlihatkan kemanisan susunan kata-kata dan baris serta bait yang menyerupai gambar seperti segitiga, huruf Z, kerucut, piala, belah ketupat, segi empat, dan lain-lain. Puisi konkret sangat terkenal dalam dunia perpuisian Indonesia sejak tahun 1970-an. Sutardji Calzoum Bachri termasuk pelopornya. Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri banyak yang dapat dikategorikan puisi konkret, seperti puisinya yang berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” yang berbentuk zig-zag. (Elin, http://eliansucitiwaningtyas.blogspot.com/2011/09/puisi-konkret.html, akses 9 Maret 2014)
TRAGEDI WINKA DAN SIHKA
kawin
           kawin
                      kawin
                                kawin
                                           kawin
                                                     ka
                                               win
                                          ka
                                    win
                                ka
                           win
                       ka
                 win
             ka
       win
 ka
      winka
               winka
                         winka
                                  sihka
                                           sihka
                                                    sihka
                                                             sih
                                                         ka
                                                    sih
                                                 ka
                                            sih
                                         ka
                                   sih
                                ka
                            sih
                        ka
                            sih
                                 sih
                                      sih
                                           sih
                                                sih
                                                     sih
                                                          ka
                                                             Ku
                                        (Sutardji Calzoum Bachri, 1983)
DAFTAR PUSTAKA

Casico, Chasim. "Contoh Mantra." http://chasimcasico.blogspot.com/2013/04/contoh-mantra-oleh-chasim-casico.html (akses 9 Maret 2014).

Elin. "Puisi Konkret." http://eliansucitiwaningtyas.blogspot.com/2011/09/puisi-konkret.html (akses 9 Maret 2014).

"Gurindam Dua Belas." http://rajaalihaji.com/id/works.php?a=SEovUnMvVw%3D%3D= (akses 9 Maret 2014).

Hartono, Juni. "Puisi Baru (Jenis-jenis Puisi Baru)." http://walpaperhd99.blogspot.com/2013/11/puisi-baru-jenis-jenis-puisi-baru.html (akses 9 Maret 2014).

Jalil, Dianie Abdul. Teori dan Periodisasi Puisi Indonesia. Bandung: Angkasa, tt.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik Rev.ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009.

Mainingrum, Is Pratiwi. "Jenis-jenis Puisi." http://mainingrum.blogspot.com/2011/07/jenis-jenis-puisi-contohnya-puisi.html (akses 9 Maret 2014).


Puisi, Berita. "Pengertian Puisi Mbeling." http://www.facebook.com/media/set/?set=a.425605814146798.97836.227048344002547&type=3# (akses 9 Maret 2014)

Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

W.S., Hasanuddin. Membaca dan Menilai Sajak Pengantar Pengkajian dan Interpretasi. Bandung: Angkasa, 2012.

                                                      
* Herry Oktav, nama pena dari Herry Heryanto, mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ketua Umum FLAT, Foreign Languages Association, 2013-2014.

Read more...

Sepatu Murah Meriah

>> 15/03/14

Faliq Ayken


Jangan kaubuang sepatuku hanya karena kaujijik melihatnya
Sepatu itu kubeli dengan keringat yang kuperas di jalan cita-cita
Sehari semalam kupakai untuk berkeliling kata demi kata
Memungut huruf yang berserakan di jalanan gramatika

Kalau harga sepatuku kaubilang murah meriah,
kukatakan itu hanya pemaknaan saja
Kalau kata-kata yang kutulis kaubilang tak bermakna,
kukatakan yang tak bermakna adalah makna

Sepatu yang kaupakai sama dengan sepatu yang kupakai
Huruf-huruf yang kaurangkai sama dengan huruf-huruf yang kurangkai
S-e-p-a-t-u, a-b-c-d-e-f-g-h-i-j-k-l-m-n-o-p-q-r-s-t-u-v-w-x-y-z
Abjad yang kaugunakan pada kata yang kaupilih adalah sama denganku
Bukankah pada awalnya demikian?

Uangmu sama dengan uangku
Kecuali kalau uangmu uang palsu
Huruf-hurufmu sama dengan huruf-hurufku
Kecuali kalau kaubuta huruf

Aku pernah membaca kata-kata
Seribu langkah berawal dari satu langkah
Semestinya kita menulis kata-kata
Seribu kata berawal dari satu kata


Ciputat,
Minggu, 9 Maret 2014

Read more...

Jejak Kaum Cukong

>> 14/03/14

Herry Oktav


Gundukan itu tak hanya diraba
Tapi diremas, diperas, dihisap
Remasan merata
Perasan mesra, hisapan merangsang
hingga tak tersisa

Berubah jadi ring kaum buruh
jungkir balik bercecer peluh

Remasan penuh kontroversi
Perasan penuh intrik, dibekali bakat akrobatik

Kokok jantan tak lagi terdengar
Hanya bising yang memekak telinga

Diiringi ribuan langkah sepatu
Sepatu-sepatu yang mengilap bagai kilat
Dilapisi gemerlap ambisi-ambisi
Tetap meraja, tetap berkuasa


Ciputat,
Minggu, 9 Maret 2014

Read more...

Langkahmu Ayah

>> 13/03/14

Yuni Budiawati


Tap tap
Langkah itu buatku berlari ke depan pintu
Bukan untuk sebungkus permen atau sekotak kue
Bukan untuk rengekan tambahan jajan
Tapi sebuah pelukan hangat dan kebahagiaan
Dari lengkung senyumnya yang letih menawan

Tap tap
Langkah itu berlari cepat ke arahku
Saat ragaku tak seimbang lalu jatuh
Saat jiwaku rapuh seakan dunia ‘kan runtuh

Tap tap
Langkahnya mantap namun berat
Sepatunya disemir hingga hitam mengkilat
Tangannya memegang lenganku kuat
Menuntunku pada langkah awal yang baru

Tap tap
Tongkat topang kakinya lemah
Mendekatiku dengan langkah payah
Kerutan dan rambut putihnya bertambah
Tapi pelukannya masih sehangat dulu
Lengkung senyumnya masih semenawan dulu

Tap tap
Langkahku mulai goyah
Mengantarkan pada langkahnya yang terakhir
Langkahmu Ayah...


Ciputat,
Minggu, 9 Maret 2014

Read more...

Akan Berkembang

>> 12/03/14

Oky Primadeka


Tak banyak jalan menuju rumah besar
di mana kita bisa cukup tenang tidur bersama istri dan anak
mengendapkan lelah yang ingin kita uraikan
pada selapis kasur dan bantal empuk berselimut
tanpa mengkhawatirkan atap yang mungkin saja bocor
saat hujan datang

Miris memang, kita tinggal di negeri yang katanya surga dunia
Namun ini bukan khayalan
yang semudah membalikkan telapak tangan bisa kita tepiskan
tanpa berhasrat untuk menyimpannya kembali pada file memori ingatan
Atau seperti kertas yang kita lipat-lipat saat masih kanak-kanak untuk membuat
kapal-kapalan
kemudian dengan ikhlas kita hanyutkan ke sungai begitu saja
tanpa menyesalinya, tanpa mempertanyakan kapan kembalinya

Hidup di kota keras memang, seperti mendaki bukit yang tanpa kita tahu kapan
kita akan sampai ke puncak
Kita manut kebutuhan yang justru kadang membuat alpa kewajiban
Kita lelah dalam penat yang ingin kita keluhkan tetapi enggan, untuk apa?

Orang-orang di stasiun kereta api riuh mengaduh
mengeluhkan jadwal pemberangkatan molor, penumpang berjejal sesak
Sebagian dari mereka memakai sepatu yang cukup tega
menginjak kaki orang lain walau tanpa sengaja
Syahdan...
Semua ini, jalan yang kita tempuh ini akan menjadi sebuah kisah
tentang titik, koma, tanda tanya, dan kawan-kawannya
tentang perjalanan kita menyusuri jalan setapak kehidupan
walau lelah, walau penat, akan berkembang


Ciputat,
Minggu, 9 Maret 2014

Read more...

Bayang Semu Sepatu

>> 11/03/14

Khairini Lulut


Kuberjalan di tengah keramaian
Bukan di pasar ataupun di pameran
Bukan pula di kerumunan berkabung pemakaman
Berjalan sendiri tanpa ditemani
Kumenyusuri selasar toko
Dengan etalase berisi berbagai pajangan berharga
Ya, aku berada di mall besar negeri ini

Kulihat sebuah toko yang menarik hati
Bukan toko banyak pelanggan yang elegan
Yang melangkahkan kakiku ke sana
Sepasang benda yang memutuskanku datang padanya
Bukan dan tidak 'hanya'
Memang sepasang benda mengkilau yang terpajang
Sepasang benda yang akan selalu tetap berpasangan
Ya, benda yang tampak kulihat dari jauh adalah sepasang sepatu

Takkan ada arti jika hanya satu tanpa yang lain
Takkan sempurna karena sudah menjadi takdir bagai 'yin dan yang'
bukan dan tidak 'hanya'
Tetapi memang sepasang sepatu
Sepatu kaca bening mengkilau
Siapa pun melihatnya akan teringat kisah Cinderella

Kulihat dan kubayangkan ketika aku mengenakannya
Ke manakah sepatu itu akan membawaku pergi
Akankah sepatu ini mengantarkanku ke sebuah istana megah
dan kutemui seorang pangeran seperti dalam kisah-kisah

dongeng terkenal itu hanyalah lamunan sesaatku
dan aku tersadar ketika masih berdiri mematung
memandang sepatuku di dalam bayangan etalase
sepatu kets usang yang selalu kupakai ke mana pun
ya, sepatu yang sudah membawaku ke berbagai tempat
bukan dan tidak 'hanya'
tetapi sebuah sepatu penuh kenangan yang mengantarku
hingga ke tempat di mana aku bermimpi
menjadi seorang puteri seperti sekarang ini


Ciputat,
Minggu, 9 Maret 2014

Read more...

Rinduku di Sana

>> 07/03/14

Yuni Budiawati


Bau asin tajam menusuk hidung
Gelombang menghempas pasang karang
Rinduku ada di sana

Aku berharap langit memelukku
Deburan ombak sebagai selimut yang mengulumku lembut
Membawaku pada dasar laut dalam

Rinduku menderu berlomba dengan debur ombak
Jeritanku dibawa sang camar terbang
Tapi hatiku di sini
Berdiri di ujung hempasan ombak beralas pasir

Rinduku
Seperti ombak hapus sang jejak pasir
Rinduku
Biarlah lalu, hilang bersama buih
Hening di tengah laut


Ciputat,
Selasa, 4 Maret 2014

Read more...

Kangkang Makelar Atas Pinus

>> 06/03/14

Herry Oktav
 

Polah-polah riang melahap sari bumi yang ditinggal gersang
Laut-laut dijarah
Hutan-hutan dijajah
Gunung-gunung dikoyak layak barang usang,
hanya untuk urusan selangkang

Tak lagi terlihat serabut akar
Kini terhampar pagar-pagar yang membentuk cakar
Tercium bau kelakar para makelar
yang biasa kangkangi kaum proletar

Ladang tempatnya membiak
Jadi tempat pembuangan cikal anak
Tersengat lendir-lendir arak
Dicampuri limbah yang berserak

Apa guna kritik, polah-polah tak terusik
Ke mana pendapat mendarat, kalau tak ditimbun pejabat

Pinus diberangus bak barang butut,
dijadikan sarang perkutut


Cibatok,
Sabtu, 15 Februari 2014

Read more...

Sang Penjaga Hidup

>> 05/03/14

Yuni Budiawati


Aku masih terlalu kecil untuk mengerti hidup
Aku bertanya pada ibu mengapa aku harus tumbuh
Katanya kita sabda Tuhan untuk alam
Kita sang penjaga hidup

Aku berusaha untuk hidup
Bumi kuatkan ragaku kokoh
Menopang beratku agar tak rubuh

Aku harus tetap tumbuh
Setiap nafasku adalah matahari
Setiap uratku adalah hujan
Sari-sariku adalah kehidupan

Aku harus tumbuh
Menghijau seperti agungnya laut yang biru
Seperti megahnya jingga saat senja
Seperti kuningnya padi yang berisi

Aku harus tumbuh
Karena aku sang penjaga hidup


Ciputat,
Selasa, 4 Maret 2014

Read more...

Suara Pasir

>> 04/03/14

Oky Primadeka


Kuingat setiap jejak yang entah sengaja atau tidak
menjadi bagian tubuhku yang selalu pasrah
Kuingat setiap petikan suara yang mengendap ruai
untuk kemudian kujadikan sebuah risalah

Tapi siapa aku sebenarnya?
Apakah pawana yang dibiar-lalukan pohon
Apakah hujan yang rinainya luruh bersama hening
Ataukah hanya sebutir nasi yang tak pernah protes kala terlupa

Untuk apa semua ini?
jika suara-suara itu tak pernah berbuah hikmat
Saat malam nanti aku 'kan bersuara melawan sepi
kepada pantai yang bersaksi bahwa aku tak pernah memasalahkannya


Ciputat,
Minggu, 2 Maret 2014

Read more...

Duduk di Tepi Laut

>> 03/03/14

Faliq Ayken


Gerakan air laut yang turun naik mendatangiku berulang kali
Aku menderu-deru saat ombak itu memecah pantai
Pikiranku mengombak seketika, berdebur tak karuan
menikmati gelombang keindahan di tepi lautan

Angin berdesir dan aku berdesis pada butiran pasir
"Dingin adalah kenikmatan yang bisa menghangatkan,
ketika kaudatang memelukku tanpa kemunafikan."
Aku terlentang di atas pasir putih yang menyimpan kerinduan
"Barangkali hanya di pantai ini, sayang, rinduku menjelma angin
yang mendinginkanmu dari panas kebencian."
Menggumamkan namamu adalah salah satu cara
mengabarkan rindu yang bernada, untukmu; di sana

Dingin pantai ini membuatku rindu pada pelukan itu
Pelukan kehangatan yang menahbiskan kasih sayang
Mendiamimu dalam pikiran, memelukmu dalam kenangan
adalah dua hal yang tak bisa kutaklukkan


Pondok Petir,
Minggu, 2 Maret 2014

Read more...

Aku Penyenang

>> 01/03/14

Oky Primadeka


di setiap helaian waktu tersematkan padaku
dahan, ranting, daun, pucuk, bunga, dan buah
di dingin yang dikibaskan malam tetap menjadi seutuhnya aku
dahan, ranting, daun, pucuk, dan buah
aku lupa, sekarang baru kusebut akar, inti

setiap pagi kudengar sepasang burung nuri
elok warna dan merdu suaranya mencuit
aku ingat betul saat mereka dalam gugup mengecup gigit
buahku yang belum ranum
"asem," celetuk mereka
"haha, itu akibat enggan taat pada waktu," ejekku

aku adalah setia yang ditelan sepi
seperti embun yang kehilangan pagi
aku sendiri dalam hening sunyi musim hujan
namun aku sadar aku hidup dalam dekapan
aku belajar tentang erat dan renggang, hangat dan dingin
hingga kuputuskan untuk setia pada sekujur tubuh alam

kutancap niat ke pusat bumi
kuteguhkan diri walau takkan sampai ke langit
kutarikan daun yang mendesau sepanjang pagi
dan kupajang buah kudapan pada etalase alam
silakan, sepuasnya, aku penyenang

esok yang selalu kuigaukan malamnya
selalu tiba dengan sejumput asa
membawa untaian benang-benangnya
kurajut tekun agar indah kain yang 'kan
kupersembahkan, padamu, sekalian tujuan
tak masalah aku mati ditelan sepi
aku penyenang


Ciputat,
Jumat, 14 Februari 2014

Read more...

  © KOLIBÉT Komunitas Literasi Alfabét by Ourblogtemplates.com 2014

Log In